Melihat pernikahan dari kacamata seorang lajang memang sungguh indah. Ya, itulah yang dulu saya dan mungkin banyak wanita muda lainnya rasakan saat masih berstatus single. Menikah, berkeluarag dan memiliki anak masih menjadi impian banyak wanita terlepas dari pengaruh sosial masyarakat maupun keyakinan yang dianut. Namun, dibalik itu semua memang sudah menjadi naluri manusia untuk hidup berpasangan dan membangun keluarga, ini adalah dorongan alami kita untuk tetap menjaga kelestarian umat manusia dan supaya kehidupan tidak punah.
Rasanya menjadi wanita yang seutuhnya saat pernikahan, keluarga dan juga anak – anak mengisi hidup kita,
namun, hidup berlangsung bukan seperti dalam cerita – cerita dongeng yang
selalu berjalan mulus, Sesempurna apapun hidup kita, saat – saat pahit dan
getir pasti ada meksipun tak tampak dari luar namun ya hanya kita sendiri yang
bisa menilai dan merasakan nya.
Begitu juga saat sudah menjadi
ibu rumah tangga, setelah menjalaninya sendiri, alhasil sukses merubah pendapat
dan sudut pandang saya saat masih lajang dulu, bukan hanya merubah mungkin bisa
dibilang memporak – porandakan asumsi dan pendapat yang sudah tertanam begitu lamanya. Meksipun
status sebagai seornag ibu rumah tangga bisa dibilang masih belum mempunyai jam
terbang tinggi, namun cukup untuk memberikan banyak pembelajarna dan membongkar
banyak persepsi dalam hidup. Berikut lima pelajaran yang bisa kita ambil dalam
menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga :
1. Menjadi ibu rumah tangga ternyata
melelahkan
Dulu saya berpikir bahwa menjadi
ibu rumah tangga itu sweet escape dari pekerjaan kantor dan deadline yang
menumpuk dan menjadi ibu rumah tangga itu enak karena hanya di rumah saja dan bisa santai – santai rebahan setiap saat, ternyata itu semua salah besar. Menjadi
ibu rumah tangga ternyata sangat melelahkan apalagi bila sudah ada ada anak yang menginjak usia toddler, lelah nya bisa dobel. Meksipun terlihat HANYA di rumah saja,
namun di dalam rumah banyak yang harus dikerjakan mulai dari bersih – bersih rumah,
merawat anak, memasak, dan pekerjaan domestik lainnya yang terlihat simple dan
sepele namun saat it menjadi siklus rutinitas yang diulang – ulang setiap hari
tanpa jeda juga bisa menyebabkan kita sebagai ibu rumah tangga mengalami
kelelahan akut dan bila tidak segera ditangai bisa berujung stres, apalagi bagi para ibu yang tidak memiliki asisten dan harus mengerjakan semuanya
sendiri. Berbeda dengan kerja kantoran yang ada cuti atau liburnya, menjadi ibu
rumah tangga tidak mengenal cuti dan hari libur, alih – alih berpikir weekend
waktunya malas – malasan, hal itu susah diwujudkan karena justru weekend adalah
hari yang sibuk karena semua anggota keluarga lengkap berkumpul di rumah,
bangun kesiangan saja sudah membuat semua rencana berantakan di hari itu.
2. Parenting itu ternyata tidak
mudah
Saat melihat feed – feed instagram
maupun konten – konten parenting dulu sebelum menikah dan mempunyai anak, saya
menganggap parenting itu mudah dan smeua bisa di handle sama halnya seperti
menghandle pekerjaan, lakukan dan selesai. Ternyata memang praktek tidak
semudah teori, hehe. Apalagi yang dihadapi adalah manusia kecil yang masih membutuhkan bimbingan dan terutama kesabaran dari orang tuanya. Banyak teori
parenting yang berhasil begitu pun juga jauh lebih banyak yang ternyata tidak
semudah apa yang disampaikan karena setiap anak mempunyai karkater dan cara
penanganan yang berbeda – beda. Hal yang lebih utama yang mungkin
tidak terlalu banyak diajarkan di ilmu parenting justru adalah bagaimana
mengendalikan emosi si ibu karena parenting banyak menitikberatkan pada
anak sebagai fokus utama, padahal kewarasan dan kestabilan mental dan emosi ibu
juga tidak kalah penting untuk diperhatikan dan justru menjadi poin utama
parenting bisa dilakukan dengan baik. Bagaimana bisa mempraktekkan parenting kalau
si ibu sendiri masih berkutat pada stress dan emosi yang belum terselesaikan.
3. Quality time dengan pasangan
ternyata sangat penting
Dulu saat pengantin baru dan
belum ada anak, rasanya semua berjalan mudah, kita mempunyai banyak waktu berdua
bersama pasangan, apa – apa dilakukan berdua, kemana – mana juga berdua. Setelah
punya anak, ternyata baru sadar bahwa momen – momen kebersamaan seperti itu
sangat berharga dan bukan sekedar bersama saja karena saat sudah disibukkan
dengan pekerjaan rumah dan anak, waktu bersama pasangan juga menjadi berkurang
karena sama – sama sibuk dan lelah dengan peran dan aktifitas yang dijalankan. Namun, hal itu juga sebenarnya tidak boleh dijadikan alasan ya untuk terus
mengabaikan pentingnya menyempatkan quality time bersama pasangan, tidak harus selalu
wah, hanya sekedar ngobrol berdua
sebelum tidur atau saat makan malam bersama dan tentu saja dengan meniadakan gadget agar
tidak menjadi penghalang.
4. Berkurangnya frekuensi pertemanan
Ini juga tidak bisa dihindarkan
dan sepertinya memang akan selalu begitu. Saat kita dan sahabat maupun teman –
teman sebaya sudah sama – sama menikah dan punya anak, rasanya frekuensi dan
intensitas untuk bertemu atau hanya sekedar ngobrol saja sudah sangat susah karena
kesibukan mengurus keluarga masing – masing meskipun sama – sama ingin bisa meluangkan
waktu bersama .
5. Status sebagai ibu rumah tangga yang kerap dipandang sebelah mata
Tidak ada yang lebih menyakitkan
saat status kita sebagai ibu rumah tangga dipandang sebelah mata oleh sebagian
besar orang, apalagi bila itu datang dari lingkunagn keluarga atau kerabat. Kerapkali
menjadi ibu rumah tangga dianggap tidak memberikan kontribusi apa – apa dan
terkadang kita juga menjadi rendah diri karena menjadi ibu rumah tangga, tidak
ada jenjang karir atau status yang bisa dibanggakan dan juga tidak mendapatkan
gaji seperti orang – orang lain yang bekerja di luaran sana. Memang susah
megubah stigma yang sudah melekat dan menjadi suatu kebenaran bersama dalam
masyarakat. Tolok ukur sukses yang hanya terbatas pada status pekerjaan atau jumlah
pendapatan tidak bisa serta merta diubah dalam semalam, kalau sudah begini ya
tinggal bagaimana kita harus bisa menguatkan diri kita sendiri.
Sungguh pelajaran hidup yang luar
biasa yang mungkin hanya akan kita pahami saat benar – benar berada di posisi
ini. Memang persepsi dan asumsi itu hanya subyektiftas kita saja karena ketidak
tahuan dan kurangnya pengalaman, saat sudah menjalani sendiri peran ini barulah
kita mengerti. Hidup ternyata punya caranya sendiri ya untuk mengajarkan manusia
tentang apa itu hidup yang sebenarnya. Tapi seperti kata pepatah, habis gelap
terbitlah terang, masa – masa berat seperti ini pun juga
akan berlalu seiring dengan bertambahnya kebijaksaan dan juga dengan semakin
besar nya anak – anak. Mungkin nanti kita akan tersenyum sendiri saat menengok
ke belakang dan bagaimana kita akan lebih menghargai diri kita karena sudah
berhasil melewatinya. So, sekarang bersabar dan nikmati saja.