Kalau kamu sudah membaca artikel menantang konsumerisme, mungkin topik yang akan aku bahas di sini sangat relate, kalau belum, silahkan baca dulu di sini ya.
Okey, dunia ini ternyata tidak
seindah yang kita bayangkan saat masih duduk di bangku sekolah. Beranjak dewasa,
ternyata dunia tidak berjalan begitu saja, ada sistem besar yang bernama
kapitalisme yang menjadi mesin penggerak roda kehidupan manusia di bumi ini.
Kapitalisme mungkin sudah tidak asing di telinga kita ya, salah satu bentuk
nyata dari sistem ini adalah dengan berdiri megahnya para korporasi raksasa
yang berorientasi profit. Ya, salah satu core kapitalisme
adalah profit, perusahaan di jalankan dengan tujuan utama meningkatkan profit,
well kita bisa berdalih perusaaan korporasi besar didirikan untuk membantu
meningkatkan kesejahteraan manusia karena bisa menyerap tenaga kerja, setuju,
namun di sinilah lingkaran setan nya tidak akan pernah berhenti, di sinilah
sistem yang diciptakan akan otomatis berjalan, looping sedemikian rupa dan
menjerat manusia dengan dalih konsumsi.
Mindset yang keliru tentang konsumsi
Korporasi besar didirikan untuk menjawab
masalah dan kebutuhan manusia, pada
awalnya, namun semakin ke sini kenyataan nya tidak seperti itu. Kapitalisme
mencoba memecahkan masalah bahwa supply itu terbatas sedangkan demand atau
keinginan manusia itu TIDAK terbatas, oke, ingat ya kawan TIDAK TERBATAS.
Mungkin dari sini saja kita bisa menggarisbawahi bahwa mindset untuk
membenarkan dan mengamini bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas adalah
sumber dari masalah yang ditimbulkan sistem ini yang berakhir pada konsumerisme
tanpa batas.
Lantas apakah tidak boleh kita
melakukan kegiatan konsumsi ? tentu boleh dan harus dong karena kita perlu
makan, minum, tempat tinggal, berpakaian, namun, di sinilah kita harus aware
dengan kebiasaan konsumtif kita, di luar kebutuhan dasar, coba tanyakan lagi
apakah kita benar – benar memerlukan nya ? atau jangan – jangan sebenarnynya
kita sudah punya dan hanya ingin menambah lebih dan lebih.
Pembahasan mengenai dampak
konsumerisme berlebihan dan dampaknya terhadap lingkungan sudah sangat sering
kita lihat, namun apa yang membuat manusia tetap saja menginginkan lebih dan
lebih ? kembali ke frasa pembenaran bahwa keinginan manusia tidak ada batasnya
tadi, karena seharusnya solusi yang bisa kita ajukan dan gaungkan haruslah yang
menyasar pada inti masalah, pada fundamental nya, yakni mindset dan believe
bahwa keinginan manusia yang tidak terbatas di framing seolah HARUS selalu
dipenuhi. Memang betul keinginan manusia tidak terbatas, namun kita juga punya
mekanisme yang namanya SELF CONTROL atau KONTROL DIRI untuk menjaga pola
konsumsi kita tetap di batas ambang wajar. Ini yang sering dilupakan bahkan
tidak pernah di glorifikasi di sosial media.
Akhirnya muncul juga lawan dari tren konsumtif
Namun, akhir – akhir ini saya
cukup senang bahwa di platform sosial media mulai muncul banyak gerakan
deinfluencing dan tren undeconsumption, sebuah tren yang menjadi antidote
dari tren konsumtif seperti haul, belanja, dan promosi – promosi para
influencer dengan gaya hidup yang wah yang secara tidak sadar membuat kita merasa
jauh tertinggal, merasa kurang update, merasa tidak engage dengan gaya hidup
dan cara hidup kekinian jika tidak ikut atau membeli barang seperti yang para
influencer lakukan.
Influencer sekarang lebih tepat
bila disebut ujung tombak marketing, again kembali lagi ke kapitalisme, dimana
tuntutan profit harus diimbangi dengan produksi barnag yang massive, tidak
peduli orang butuh atau tidak barang ini, yang penting sales harus jalan dan terus
bertumbuh. Sayangnya, kita sebagai konsumen, kita sebagai rakyat biasa terlalu
mudah dipersuasif untuk kembali masuk ke jerat yang sama berkali – kali, duh.
Coba deh lihat tren underconsumption, bagiku ini cukup menjadi angin segar untuk meningkatkan awareness kita terhadap pola hidup konsumtif, membeli barang karena suka, karena lucu, karena keren, karena seolah kita butuh padahal tidak. Mungkin tren ini juga sedang gencar karena faktor ekonomi yang juga tidak menentu, dimana mencari pekerjaan susah, banyak phk, dan ketidak pastian ekonomi yang sedang melanda global sehingga masyarakat mulai merubah pola pikir menjadi lebih aware akan pengeluaran dan pembelanjaan yang tidak penting.
Cara menerapkan prinsip dalam tren underconsumption
Pada dasarnya tren ini sama saja dengan mengedepankan kebutuhan daripada keinginan dan mengobtrol impuksive buying yang biasanya memang agak sulit untuk diredam, apalagi kalau sudah scroll e-commerce untuk mengisi waktu luang, hehe. Salah satu contoh penerapan underconsumption ini diantaranya adalah membeli produk sesuai fungsi dan tidak menumpuk atau membeli produk serupa lebih dari yang dibutuhkan. Mengkonsumsi produk sampai habis baru membeli kembali, bukan nya baru dipakai sekali dua kali trus tergoda merek sebelah, hehe. Mencoba memperbaiki barang yang rusak alih - alih langsung checkout keranjang toko online untuk mencari penggantinya. Menggunakan barang lama atau pemberian dari keluarga yang masih layak daripada membeli yang baru dan banyak lagi ide kreatif lainya yang bisa kita kembangkan supaya kita tidak mudah mengeluarkan uang untuk hal - hal yang bisa ditunda atau dicari alternatif nya.
Harapan nya sih semoga tren ini tidak sekedar menjadi tren yang viral sekejap lantas hilang dan berujung kembali ditinggalkan. Harapan nya meskipun nanti ekonomi sudah kembali pulih, kita tetap bisa menjaga kewarasan dalam melakukan kegiatan konsumsi agar tidak terjerat lingkaran setan konsumerisme karena kapitalisme tidak bisa dilawan sendiri – sendiri, harus ada kesadaran kolektif dari setiap individu yang mana jika dilakukan bersama – sama tentu hal ini akan memberi dampak dan mengurangi kerusakan yang sudah terlanjur terjadi di tempat kita tinggal bersama, bumi kita.